Wednesday, December 2, 2015

pendidikan konstruksional

Beberapa waktu lalu saya mengkuti Seminar dan lokakarya Pendidikan di Hotel Dharma Deli Medan, semiloka tersebut dihadiri dan dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional baru “Dr. Ir.Nur Muhammad Nuh, MA”. dalam kesempatan itu pak menteri berbicara tentang model dan konsep pendidikan konstruksional baru yang akan beliau kembangkan di Indonesia. lebih lanjut beliau memaparkan, bahwa ada lima pilar yang harus dijadikan mindset pendidikan di Indonesia untuk mencapai hasil yang lebih baik dimasa yang akan datang. pertama, pendidikan harus berorientasi pada “Discipline knowledge”, artinya pendidikan harus menghasilkan orang-orang yang memiliki disiplin ilmu sesuai dengan apa yang diminati dan dikehendaki, namun tidak luput dari dasar-dasar ilmu yang lain yang terkorelasi dengan disiplin yang dikehendaki, dalam perspektif ini, seorang pengajar diwajibkan memiliki profesionalisme ke-ilmuan sesuai dengan bidang yang diajarkan. Apabila dia mengajar Bahasa Inggris, maka ia harus memiliki keahlian bahasa inggris baik secara formal mapun skill dan kecakapan, apabila ia mengajar ilmu Nahwu, maka dia juga harus memiliki keahlian secara formal dan skill tentang ilmu nahwu tersebut. Kedua, pendidikan harus mampu melakukan langkah “Synthesizing” artinya setelah memperoleh pengetahuan yang sinambung dengan apa yang diharapkan, seorang terdidik harus mampu melakukan pemetaan terhadap suatu masalah dengan mengetahui akar pokok masalah dan mengetahui solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut, dalam kaitannya dengan pilar yang kedua ini, lebih lanjut menurut pak mendiknas bahwa seorang terdidik akan tetap mempertahankan suatu konsep lama yang masih baik dan senantiasa berupaya mencari konsep baru yang jauh lebih baik, (Almuhafadhotu ‘Ala Al-qodimi sholih, wal akhdzu bil jadidi Al-ashlah).
Ketiga, seorang terdidik harus memiliki insting keratifitas yang disebut dengan “Creative Mind” artinya menemukan hal-hal yang baru menjadi sebuah kelaziman bagi seorang yang memiliki pendidikan, dan itu bermuara dari dorongan seorang pengajar yang senantiasa memberikan gambaran-gambaran akan hal-hal yang baru, sehingga pelajar memiliki insting untuk berkreatifitas dengan pengetahuan yang dimilikinya. Keempat, Pendidikan harus dilandasi dengan sikap saling menghargai, istilah ini kemudian disebut “Respectful Mind” artinya, apapun dasar keilmuan yang dimiliki, pendidikan harus berorientasi sama yaitu mencerdaskan, memahamkan, dan membuat mengerti tentang tujuan pendidikan itu sendiri. Kelima, Pendidikan harus berorientasi pada pembentukan karakter seseorang ( character building). Seorang terdidik harus memiliki akhlak prilaku dan pola pikir terdidik juga, sehingga ia nanti akan bersifat terbuka dan menghargai orang lain. Dalam konteks ini beliau menyebut dengan istilah “Etical Mind”. Hal ini harus dimiliki, karena dasar dari manusia yang terdidik dan memiliki pendidikan haruslah memiliki karakter yang jelas,yaitu karakter berakhlak mulia.
Berdasar pada lima pilar pendidikan yang harus menjadi Mindset tersebut diatas, saya mencoba mengkaitkan dengan kondisi realitas pendidikan di Negara kita saat ini, khususnya dengan berlangsungnya Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan yang saat ini tengah berjalan di tingkat Sekolah Menengah Atas dan sederajat. Pertama, jika pendidikan di Indonesia harus mengarah pada penguasaan ilmu secara professional (Discipline Knowledge). Mengapa Ujian Nasional harus dilaksanakan dan menjadi satu-satunya acuan kelulusan bagi seorang pelajar? (walaupun dalam konteks ini pemerintah berdalih bahwa Mapel lain juga menjadi dasar bagi kelulusan, tapi pada kenyataannya tidak). Bukankah materi-materi yang di ujikan dalam UN tersebut masih terlalu jauh dari merepresentasikan keluasan ilmu yang telah dipelajarai oleh pelajar? Apakah tidak disadari bahwa dengan hanya mengujikan beberapa (6 Mapel untuk tingkat SMA/sederajat dan 4 Mapel untuk tingkat SMP/sederajat) mata pelajaran yang telah dipelajari oleh pelajar, akan menumbuhkan sikap meremehkan pelajaran lain yang telah dipelajari? Bisakah dikatakan mengarah pada profesionalisme, apabila seorang pelajar harus mati-matian mempelajari suatu mata pelajaran yang sama sekali tidak dia sukai dan tidak mengarah pada profesionalisme yang diharapkan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecamuk dipikiran saya, karena sepertinya masih terlalu jauh dari mindset yang diharapkan yaitu “Discipline Knowledge” sebagai pilar yang ingin diterapkan dalam pendidikan di Indonesia saat ini.
Kedua, seorang yang terdidik nantinya diharapkan mampu melakukan pemetaan masalah dan mencari solusi yang tepat terhadap masalah tersebut ( synthesizing Mind). Dalam perspektif ini, kembali saya mengajukan pertanyaan, mampukah seorang pelajar melakukan pemetaan masalah dengan hanya mengutamakan beberapa mata pelajaran yang di UN saat ini? Kenyataan dilapangan membuktikan, bahwa semenjak dijadikannya UN sebagai standar formal kelulusan oleh pemerintah, minat (interest) pelajar semakin berkurang untuk lebih mendalami pelaran-pelajaran yang lain yang sama sekali tidak ada kaitannya dngan Ujian Nasional, kendatipun telah ditegaskan oleh pemerintah, bahwa institusi pendidikan (baca: Sekolah) sebagai stake Holder pelaksana pendidikan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kelulusan melalui penetapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak mudah dilaksanakan, hal ini disebabkan karena tenaga untuk mengarah kesana sudah habis disedot oleh upaya stake holder untuk mensukseskan mata pelajaran Ujian Nasional yang akan dihadapi, sehingga konsekwensinya, Mata Pelajaran yang diberi ruang untuk lebih diperhatikan dengan cara mengadakan bimbingan belajar, try out, simulasi dan sejenisnya hanyalah mata pelajaran yang akan di UN-kan saja, sementara Mata Pelajaran lain seakan tidak lebih hanya sebagai pelengkap saja tanpa ada upaya-upaya yang serius untuk membenahi kurikulum dan systemnya. Karenanya, kembali saya bertanya apakah realitas ini akan mampu mengantarkan para pelajar sebagai seorang yang terdidik mampu melakukan pemetaan masalah? Tidakkah hal ironis yang nantinya akan kita dapatkan dari realitas ini?
Ketiga, jika melalui pendidikan seorang pelajar diharapkan mampu memiliki insting kreatifitas untuk menemukan dan membuat hal yang baru yang lebih baik lagi (Creative Mind) dengan pengajar sebagai motor penggerak timbulnya sebuah kreatifitas tersebut, maka pertanyaan saya adalah: Apakah spesialisai yang dilakukan saat ini terhadap Mata Pelajaran – Mata Pelajaran tertentu yang di UN-kan saja mampu mendorong daya imajinasi, kreasi dan aktifitas pelajar untuk menemukan hal yang baru? Tidakkah dikhawatirkan nantinya justru dengan spesialisai saat ini, malah akan mendorong pelajar melakukan segala cara untuk bisa berhasil dari terkaman mulut buaya (baca: UN) yang mau tidak mau harus dihadapi?. Penentuan standar kelulusan untuk Ujian Nasional yang telah ditetapkan, dalam kenyataannya justru malah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja, khususnya untuk institusi pendidikan dan pelajar. Sehingga dalam setiap pergantian tahun pelajaran yang menjadi fikiran adalah bagaimana caranya untuk dapat menjinakkan bom waktu yang siap meledak tersebut. Konsekwensinya, parktis yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional dan mengesampingkan hal lain yang justru lebih penting seperti pembinaan akhlak, kepribadian, prilaku dan pola pikir. Mungkinkah seorang pelajar yang sejatinya ingin mengembangakan ilmu keolahragaannya mampu merealisasikan hal tersebut sedangkan waktunya habis tersita untuk memikirkan Ujian Nasional? Dan masih banyak hal lain yang merupakan bukti termarjinalkannya pelajaran-pelajaran lain hanya karena Ujian nasional.
Keempat, sungguh sangat membahagiakan apabila arah pendidika kedepan di Indonesia diarahkan kepada pilar saling menghargai antara pengajar dengan pelajar (Respectful Mind). Namun mungkinkah itu terwujud apabila pemerintah akan tetap melaksanakan Ujian nasional yang dalam kenyataannya justru membuat pelajar tidak lagi menghargai pengajar dan pengajar hanya berorientasi pada kognitifitas pelajar saja? Hal ini sungguh dapat dibuktikan melalui implikasi negative adanya Ujian Nasional, temuan dilapangan membuktikan bahwa pelajar saat ini sudah mengelompokkan guru mana yang harus dihormati dan guru mana yang tidak wajib dihormati, tentunya jelas bahwa guru yang harus dihormati adalah guru yang mengajar mata pelajaran yang di Un-kan saja, dengan harapan pada saat Ujian nasional nantinya mereka akan mendapatkan bantuan jawaban dari guru tersebut. Sementara guru yang mengajar mata pelajaran lain sudah beralih fungsi menjadi iklan reklame yang setiap hari di dengar dan dilihat namun sangat minim untuk di ikuti dan di ambil kata-kata serta nasehatnya. Ah, sungguh ironis.
Kelima, sebagai pondasi kehidupan bagi seorang yang terdidik, maka pelajar harus memiliki sikap yang didasarkan pada luhurnya akhak dan etika (Ethical Mind), namun dalam praktik nyatanya, implikasi penentuan mata pelajaran khusus yang di ujikan dalam UN, justru malah memunculkan gejala-gejala sosial baru yang berhubungan dengan etika seorang pelajar, yang sungguh sama sekali jauh dari apa yang diharapkan. Apabila yang diharapkan bahwa melalui pendidikan seorang pelajar akan lebih semangat belajar, maka kenyataan membuktikan bahwa justru saat ini minat belajar pelajar semakin menurun karena mereka beranggapan tidak ada gunya belajar toh nanti akan dibantu juga. Dari sudut pandang penghormatan terhadap pengajar, sungguh ini telah mengalami degradasi, karena pelajar menjadi tidak hormat, meremehkan, dan bertindak sesuka hati. Sehingga prilaku pelajar kita saat ini jauh dari apa yang diktakan “berakhlakul karimah”. Ironis bukan
Share:

0 comments:

Post a Comment